Jatah Ekstra

Senin kemarin saya rapat dengan pengurus majalah. Intinya, majalah mau menambah jumlah halaman dan menaikkan harga jual sebesar Rp5.000. Dalam hati saya berpikir, hebat juga majalah ini, ketika media dunia sedang memangkas karyawan dan bahkan convert ke digital, doi malah nambah harga dan halaman.

Singkat kata, survey membuktikan bahwa pembaca majalah itu lebih suka harga naik Rp5.000 dan halaman bertambah ketimbang harga tetap tapi halaman dikurangi. Kayanya, para pembacanya adalah pembaca tulen. Salut!

Tetapi selagi saya tenggelam dalam kesalutan, tiba-tiba saya diminta untuk membantu mengisi rubrik baru sebanyak dua halaman, plus mengambil alih rubrik lama yang juga sebanyak dua halaman. Tung hitung hitung… dalam satu edisi saya mesti memroduksi 22 halaman. Ini belum termasuk kuota menulis untuk situs majalah tersebut yang lima artikel seminggu plus social media. Ibuuuuu!

Bagaimana pun, titah telah turun. Dan, meskipun kini saya mendapat jatah ekstra, toh saya bahagia (ya, namanya juga passion). Sejelek-jeleknya, ini membuat otot-otot menulis saya kian terlatih. 

Kekhawatiran saya cuma satu – dan sepertinya tidak terelakkan. Saya meyakini bahwa, dalam penulisan, kemungkinan besar kuantitas akan berlawanan dengan kualitas. Artinya, semakin besar jatah yang dikasih, semakin turun pula kualitas masing-masing tulisan. Faktornya banyak, mulai dari waktu yang sempit untuk riset sampai perhatian yang terpecah.

Untuk mengakali hal tadi tidaklah mudah. Sebagian orang mungkin mengambil jalan lembur hingga larut. Sebagian lain mungkin memakai waktu liburnya untuk mencicil kerjaan. Saya? Tidak. Saya lebih memilih menyeleksi mana tulisan yang hendak saya unggulkan, dan menggarapnya lebih serius. Tentu, dampaknya adalah penurunan kualitas di beberapa tulisan lain. But so be it!

Saya pikir, kerja mesti sehat. Dalam arti, manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Jika sudah baik, akan ketahuan apakah jatah yang diberikan kepadamu berlebihan atau tidak. Dari situ, kita bisa bertindak. Entah memberitahu soal ini pada atasan atau… minggat dari kantor! Just kidding, ini hanya boleh dilakukan jika komunikasi tidak membuahkan hasil.

Saya juga cenderung menghindari lembur. Bro, kita sudah delapan jam di kantor, mengapa perlu dua-tiga jam lagi? Get a life! Tentunya, ini bukan berarti meninggalkan pekerjaan yang belum selesai. Motto saya, get the job done, right on time, then we don’t have to be friends with extra time. Simpel, toh?

Yang terakhir, saya paling anti bekerja di waktu libur. Saya malas membawa pekerjaan ke rumah, karena kehadiran saya di rumah adalah hak keluarga saya, hak pacar saya, hak anjing saya, dan sebagainya. Kantor tidak berhak memiliki saya di kala liburan.

Bagaimanapun, ada dua hal yang memungkinkan saya bekerja di hari libur: tuntutan pekerjaan (ada liputan di tanggal tersebut) dan… side job! (villain laugh!) Yang pasti, bukan karena jatah ekstra.

Prinsip saya adalah, kerja di waktu kerja, libur di waktu libur. Jangan pas orang kerja malah libur (baca: bolos atau kebanyakan nongkrong di pantry), dan pas orang libur dia malah kerja. Well, sekian dulu buah pikiran saya, semoga bisa dipetik hikmahnya – kalau kata ustadz-ustadz itu. Selamat bekerja!