Cinta Dalam Kardus Telah Rilis!

Buku Cinta Dalam Kardus by Anom Kiskenda

Buku Cinta Dalam Kardus by Anom Kiskenda

Dude! Akhirnya buku gue terbit juga. Judulnya Cinta Dalam Kardus, dan silakan cari di toko-toko buku terdekat. Lho, kok kaya judul film-nya Raditya Dika? Yap, lo bener. Itu emang film yang digarap oleh Salman Aristo dan Raditya Dika, based on series di Kompas TV. Kok bisa sama ya? Ya, intinya, waktu itu gue bekerjasama dengan Plot Point Kreatif, sebuah penerbit, untuk membuat buku behind the scene film tersebut. Jadi, buku ini semi fiksi.

Di sana lo akan diajak ke dunia karakter Joni Lennon, yang menjadi tokoh utama. Orangnya bisa dibilang dagelan, tapi sesungguhnya dia baik dan potensial, kok. Hehehe. Joni adalah seorang musisi yang diajak buru-buru kawin sama pacar kesayangannya, Key. Kebayang, kan, ribetnya kalau seniman ditodong kawin? Nah, untuk lebih lengkapnya, baca aja sendiri ya.

Btw, untuk film Cinta Dalam Kardus sendiri rencananya tayang di bioskop pada 13 Juni ini. Must watch, sih, secara Salman Aristo juga yang nanganin. Tapi, tetap jangan lupa beli bukunya ya. Karena, experience nya tentu akan beda. Cerita si Joni Lennon ngga akan bisa didapat di film. Sekian dan terimakasih. 🙂

Membuat Script Film Pendek

Sudah lama juga gue nggak posting. Bukan karena malas, tapi karena belakangan gue sedang membuat script untuk film pendek pertama gue. Hahaha. Tentang apa, sih? Tentang cinta. Bukan, ini bukan cinta antara pria dan wanita, apalagi pria dan pria. Ini merupakan kisah cinta antara manusia, perempuan tepatnya, dengan alam.

Ya, gue berencana membuat film pendek yang – semoga – bisa menggambarkan kecintaan gue terhadap alam, yang dalam film ini akan gue wakilkan kepada gunung. Perkiraan gue, film akan berdurasi sekitar 10 menit. Dialog hanya sedikit, pemain juga sedikit. Gue mau mencoba lebih bermain di visual dan kecanggihan akting pemeran utamanya.

Ternyata, membuat film minim dialog pun tidak mudah. Gue dipaksa untuk merangkai scene demi scene yang cukup kuat dan berarti, kendati tanpa dialog. Alhasil, gue pusing tujuh koma lima keliling. Pun demikian, script akhirnya selesai. Gue sudah menunjukkan script itu pada calon pemeran utamanya, dan dia kasih beberapa input. Selanjutnya, gue akan kasih script  pada beberapa orang kawan lagi yang akan terlibat dalam pembuatan film. Kata Salman Aristo, ini namanya script development. Gue suka itu.

Sejujurnya, gue belum tahu kapan film akan rampung – gue bahkan tidak tahu kapan ia bakal dibuat. Yang jelas, target gue, sebelum tengah tahun ia sudah siap tayang. Judul sementara adalah “Untuk Apa Kamu Pulang”. Pacar gue bilang itu katrok, tapi teman gue ngga ada masalah. Ya, sudah, gue putuskan untuk membiarkan terlebih dulu.

Cukup ceritanya. Dan demi kemaslahatan  film ini, gue mohon dukungan do’a (kalau ada siraman dana juga boleh, lho! ;p) dari kisanak sekalian. Amen. Ciao!

 

 

Tentang Cloud Atlas

Sudah nonton Cloud Atlas? Sudah dong, pastinya. Tapi kalau belum, cepat sebelum terlambat! Saya sendiri baru nonton tadi malam. Dan kesan yang saya dapatkan usai nonton film tersebut benar-benar berbeda. Ia sangat… spiritual!

Kamu bisa saja terpukau oleh beragam set yang diusung dalam film tersebut, mulai dari yang klasik sampai yang ala sci-fi. Kamu juga bisa terperangah oleh makeup dan kostum nya yang dibuat sedemikan unik dengan detil yang mengagumkan. Tentu saja, kamu juga boleh terbius oleh special effect yang ditawarkannya. Namun, buat saya, kekuatan Cloud Atlas sama sekali bukan terletak pada ‘bungkus’, tapi pada harmoni antara bungkus, isi, bumbu, citarasa, dan pengalaman saat menelannya. Bingung? Ya, sudah, tidak apa-apa. Saya tidak bisa menjelaskan perasaan ini dengan cara lain.

Tom Hanks pernah bilang bahwa Cloud Atlas itu merupakan “cinematic literature”. Saya tidak bisa lebih setuju darinya. Cloud Atlas benar-benar membawa saya menjelajahi relung-relung spiritualitas manusia, menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja ada dalam hidup ini, laiknya  fisika kuantum. Tapi yang paling mengena adalah: Ia berhasil menyingkap, untuk sebentar saja, selubung yang ada di antara saya dan Tuhan – dan kemudian menutupnya kembali setelah film usai. Tapi tentu saja, rasa itu takkan pernah terlupakan.